Inilah Waktu Dan Tempat Yang Baik Untuk Akad Nikah

Tiap orang yang hendak melakukan perkawinan pasti mengharap pernikahannya penuh berkah. Sebab itu, tidak sedikit dari mereka yang melakukan akad pernikahannya di masjid. Tetapi, bisa jadi sebagian orang masih ragu gimana sebetulnya hukum serta kebolehannya melakukan akad nikah di masjid?

Jumhur (kebanyakan) ulama memanglah menyarankan akad nikah dilaksanakan di masjid. Di antara tujuannya merupakan supaya lebih gampang dikenal khalayak banyak serta pula demi keberkahan akad tersebut.

Siti‘ Aisyah meriwayatkan kalau Rasulullahﷺ bersabda:

أَعْلِنُواهَذَاالنِّكَاحَوَاجْعَلُوهُفِيالْمَسَاجِدِوَاضْرِبُواعَلَيْهِبِالدُّفُوفِ

“ Umumkanlah akad nikah itu, jalani di masjid, serta tabuhlah rebana untuknya.”

Hanya saja para ulama Maliki menegaskan, kebolehan akad nikah di masjid cuma prosesi ijab kabulnya saja. Sebaliknya acara- acara lain semacam makan- makan ataupun tradisi yang berkaitan dengan perkawinan, hendaknya dicoba di luar masjid. Batas ini pula pasti sangat beralasan sebab menyangkut kehormatan masjid itu sendiri selaku tempat suci serta tempat ibadah yang wajib senantiasa dilindungi, semacam tidak mengeraskan suara, tidak perbanyak bicara, tidak mengizinkan wanita yang lagi haid, serta sebagainya. Sehingga sekiranya tidak dapat melindungi kehormatan masjid, hingga makruh hukumnya. Apalagi jumhur ulama setuju memakruhkan serta melarang nyanyian- nyanyian yang tidak pantas dicoba di masjid.

Pertanyaannya, kenapa perkawinan diperbolehkan di masjid, bukankah perkawinan tercantum akad? Para ulama menarangkan, akad yang dimakruhkan di masjid merupakan akad jual beli ataupun sewa- menyewa. Sebaliknya akad hibah serta sejenisnya tidak dimakruhkan, apalagi disarankan di masjid. Salah satu akad yang disarankan merupakan akad nikah.

Tetapi, butuh diingat, para ulama sudah memakruhkan mengeraskan suara di masjid, meski dengan suara dzikir, bila sekiranya dzikir itu dapat mengusik orang yang shalat. Bila tidak mengusik hingga tidak makruh. Malah bila dengan mengeraskan dzikir bisa membangkitkan ketaatan, menggugah hati orang yang melaksanakannya ataupun menegaskan orang tidak berdzikir, hingga itu lebih baik.

Gimana bila mengeraskan suara dalam berdialog? Bila yang dibicarakannya merupakan hal- hal yang kurang baik hingga jelas hukumnya makruh, apalagi dapat haram. Sama halnya dengan pembicaraan yang baik- baik namun mengusik orang yang shalat hingga itu juga dapat makruh. Intinya, bila pembicaraannya dihalalkan serta tidak mengusik hingga hukumnya boleh serta tidak dimakruhkan(‘ Abdurrahman ibn Muhammad‘ Audh al- Jaziri, al- Fiqh ala al- Mazhahib al- Arba‘ ah,[Beirut: Darul Kutub], 2003, jilid 1, perihal. 259).

Sedangkan Mengenai menyantap santapan di masjid, sepanjang tidak mengotori, hukumnya mubah. Tetapi, apabila mengotori serta mengusik, sebab makanannya berbau semacam petai serta jengkol, hingga hukumnya makruh apalagi tidak diperkenankan.

Akhirnya, melakukan akad nikah di masjid tercantum perihal yang disarankan, dengan catatan senantiasa melindungi kehormatan masjid. Hendaknya tidak dilakukan pada waktu shalat sebab dapat mengusik, terlebih mengenakan pengeras suara, tidak membicarakan hal- hal yang tidak sepatutnya, serta seterusnya. Demikian pula kegiatan makan- makan. Boleh dilakukan di masjid tetapi dengan senantiasa melindungi kebersihan serta kehormatannya. Bila tidak dapat, hendaknya dilakukan di luar masjid, terlebih terdapat kekhawatiran hendak diiringi percakapan yang tidak pantas ataupun terdapat orang yang berteriak. Bisa jadi itu pula pertimbangan ulama Maliki menganjurkan supaya yang dicoba di masjid cuma prosesi akad nikahnya saja( Departemen Wakaf serta Urusan Keislaman, al- Mausu‘ ah al- Fiqhiyyah al- Kuwaitiyyah,[Kuwait: Daru al- Salasil], 1404 H, jilid 37, perihal. 214).

Tidak hanya itu, para ulama Syafii, Maliki, serta Hanbali menyarankan supaya akad nikah dilangsungkan pada hari Jumat, sebagaimana yang sudah dilakukan para ulama terdahulu. Karena, hari Jumat merupakan hari besar yang mulia, rajanya hari, apalagi Nabi Adam juga diciptakan pada hari itu. Sedangkan keberkahan dalam akad nikah pasti sangat diharapkan. Sehingga dia disarankan pada hari yang sangat mulia serta penuh keberkahan itu.

Ditambahkaan oleh ulama Syafi‘ i, akad nikah pula hendaknya dilaksanakan pada pagi hari Jumat, bersumber pada salah satu doa Rasulullahﷺ,“ Ya Allah, berkahilah umatku di waktu pagi mereka.”

Tetapi, bagi ulama Hanbali, malah hendaknya akad dilangsungkan pada sore hari. Perihal itu bersumber pada riwayat Abu Hurairah kalau Rasulullahﷺ bersabda,“ Lakukanlah pernikahan di sore hari. Sebab perihal itu lebih besar menarik keberkahan.”

Bagi para ulama, tidak hanya terletak di waktu mustajab, akad nikah pada sore hari Jumat pula dikira lebih dekat pada tujuan perkawinan( Wahbah al- Zuhaili, al- Fiqhu al- Islami wa Adillatuhu,[Damaskus: Darul Fikr], jilid 9, perihal, 6618). Wallahu a’ lam. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *