Ini Hukum Mengeraskan Dzikir Setelah Sholat

Tintasantri.com – Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan khusyu’ penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu’ itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu’ kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu’ dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu’-an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an. 

Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka.” (Fathul Mu’in: 24). 

Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa. 

Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi saw. yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 

Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini, “Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR Bukhari dan Muslim). 

Ibnu Adra’ berkata, “Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah saw. lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya’. Rasulullah saw. menjawab, “Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan.” Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa’d bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw. bersabda, “Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi.” Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. 

Berikut penjelasan Imam Nawawi: Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya’, mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat.” (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).

Itulah sekilas tentang dzikir dengan suara keras. Semoga bermanfaat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *