Robin Hood Sidoarjo, Sarip Tambak Oso Pejuang Dermawan Bikin Belanda Berang

Sidoarjo (TintaSantri.com) – Sebelum ayam berkokok, Sarip Tambakoso sudah bangun. Keliling mengunjungi rumah-rumah warga Desa Tambakrejo.

Tanpa sepengetahuan pemilik rumah, Sarip masuk ke dapur. Tangannya dimasukkan ke dalam perapian yang digunakan untuk menanak nasi.

Jika perapian tidak hangat, Sarip meninggalkan nasi yang cukup di rumah. Begitu seterusnya, Sarip masuk ke setiap rumah, itu dilakukan setiap hari sebelum waktu salat Subuh. Langkahnya begitu sembunyi-sembunyi, tidak meninggalkan jejak, kecuali nasi yang ditinggalkannya.

Kisah tersebut dituturkan oleh Qosim, warga Desa Tambakrejo, Kecamatan Waru, yang tak lain adalah keturunan kedelapan Sarip.

Sosoknya yang tegap, garang dan tegas menunjukkan bahwa darah Sarip mengalir di tubuh Qosim. Banyak masyarakat di Desa Tambakrejo dan Tambaksumur, Kecamatan Waru, mengetahui bahwa Qosim yang berprofesi sebagai penggali kubur merupakan keturunan dari sosok kontroversial yang mirip Robin Hood.

“Tangannya dimasukkan ke dalam tawon, tangannya merasakan kayu bakar, kalau terasa dingin berarti pemilik rumah belum masak seharian karena tidak ada nasi. Sarip kemudian menyisakan nasi secukupnya untuk diletakkan di dekat pawon,” kata Qosim, Selasa (26/7/2022).

Kehidupan di masa kolonial penuh dengan kesulitan. Tidak mudah untuk hanya makan. Kehidupan saat itu begitu menyedihkan. Tanah tidak memiliki nilai. Bahkan tidak jarang tanah ditukar dengan beras atau kebutuhan pokok lainnya.

Di sisi lain, Belanda seenaknya memungut pajak tanpa ampun. Bahkan, masyarakat tinggal di tanah airnya sendiri. Belum lagi anak buahnya, Londo Ndas Ireng (Belanda Hitam) yang kekejamannya melebihi tuannya. Padahal, mereka orang pribumi tapi tega menindas saudaranya sendiri.

Tidak senang dengan sikap zalim Belanda, Sarip melawan balik. Tidak mau membayar pajak kepada pemerintah. Tak hanya itu, Sarip mendatangi orang kaya, ia terang-terangan meminta hartanya disisihkan. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan dibagikan kepada masyarakat adat kelas bawah (rakyat).

Yang dibela Sarip adalah mereka yang makan sehari, puasa sehari karena tidak ada yang dimasak. Bukan karena malas bekerja, tapi karena keadaan saat itu tidak berpihak pada kehidupan rakyat kecil. Penindasan di mana-mana. Mereka yang memilih menjadi antek Belanda telah memenuhi hidupnya.

Brandal Loka Jaya adalah sebutan untuk Sunan Kalijaga saat menjadi perampok. Hasil rampasan dibagikan kepada orang miskin. Sarip juga sama, jarahan yang didapat dari orang kaya dibagikan kepada warga Tambakrejo dan sekitarnya yang hidupnya dirampas.

Namun, nasib Sarip tidak sama dengan Raden Sahid, nama Sunan Kalijaga. Dia berakhir tragis, tewas di tangan Belanda.

Sikap Sarip yang tidak membayar pajak dinilai bertentangan dengan Belanda. Kedermawanan Sarip oleh Belanda dianggap sebagai provokasi. Keberanian Sarip melawan tirani dianggap oposisi. Bagi Belanda, Sarip dengan cepat tersingkir.

Pada tahun 1912 pemerintah kolonial Belanda telah melaporkan penangkapan Sarip. Ia diburu puluhan tentara, Sarip berhasil dikepung di rumah salah satu kerabatnya, lalu ditembak dengan peluru perak dan emas yang menembus dadanya. Jenazahnya kemudian disingkirkan oleh Belanda.

Makam Sarip Tambak Oso di Lemahputro Sidoarjo

Tak hanya merenggut nyawa Sarip, jejaknya juga terhapus, bahkan jasadnya hingga kini tak ada yang tahu. Belanda khawatir, keberanian Sarip menyulut semangat Bumiputera. Oleh karena itu, Belanda menghilangkan segala sesuatu yang berbau Sarip. Bahkan, rumahnya juga hilang.

Sarip yang baik hati, orang Belanda yang murka. Begitulah zaman kolonial. Hasil bumi dihisap oleh penjajah dari keringat penduduk asli, lalu mereka berpesta. Kebiasaan penguasa kolonial adalah berpesta. Tidak peduli dengan nasib orang miskin.

Budayawan Sidoarjo, M. Wildan justru berpikir kritis terhadap surat kabar yang dikeluarkan oleh Belanda. Laporan pemerintah kolonial yang ditulisnya tentang Sarip Tambakoso, menurut alumnus budaya Filsafat UGM Yogyakarta itu, adalah untuk kepentingan Belanda agar nama Sarip buruk di mata bumiputera (pribumi).

Wildan menjelaskan alasannya, menurutnya, legenda Sarip Tambak Oso yang diabadikan dalam seni drama Ludruk Jawa Timur, jalan ceritanya jauh berbeda dengan berita yang ditulis Belanda. Begitu juga dengan cerita-cerita yang berkembang di masyarakat.

“Saat itu di era kolonial, seni dan budaya adalah media yang paling efektif untuk mengkritik dan melakukan perlawanan terhadap penjajah. Oleh karena itu, sejak awal seniman dan budayawan telah berperan melakukan agitasi terhadap pemerintah kolonial,” kata M. Wildan yang juga menjabat sebagai Plt. Kepala Bidang Pengelola Informasi dan Komunikasi Publik di Kantor Kecamatan Kominfo. Sidoarjo.

Bagi masyarakat Sidoarjo, lanjut Wildan, Sarip Tambakoso merupakan simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah kolonial saat itu. Ini jauh berbeda dengan berita yang ditulis di surat kabar berbahasa Belanda yang menulis bahwa Sarip adalah pengacau dan preman.

“Pada masa penjajahan, propaganda dan perlawanan terhadap sesama pribumi menjadi strategi Belanda untuk memecah persatuan masyarakat pribumi. Fakta tersebut kemudian terungkap, melalui seni ludruk, bahwa Sarip adalah pahlawan bagi masyarakat Sidoarjo. Namanya akan selalu dikenang, Sarip yang pemberani, membela rakyat kecil dan sosok yang dermawan,” jelasnya. (isa/ted)


artikel berita ini telah tayang di Berita Jatim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *