Harlah Gus Dur: Kalau Bisa Tertawa Kenapa Harus Bertengkar

TintaSantri.com Harlah Gus Dur: Kalau Bisa Tertawa Kenapa Harus Bertengkar –

Ketika berbicara tokoh muslim Indonesia yang lekat dengan nuansa humor, KH. Abdurrahman Wahid a.k.a Gus Dur tentu boleh ketinggalan. Sosok Gus Dur sangat populer dengan guyonan atau banyolan yang disebut-sebut mampu melenturkan dinamika keberagamaan yang mulai kaku.

Di tengah nuansa keberagamaan di masyarakat yang semakin membuncah, politik identitas malah membuka ruang bagi siapa saja untuk memanipulasi emosi warga demi kepentingan kekuasaan. Kondisi inilah yang menjadikan kita mulai merindu pada sosok Gus Dur. Di tengah segregasi politik yang tak kunjung selesai dan jauh dari kata sembuh, humor dianggap “senjata ampuh” untuk meredamnya.

Sebelum Gus Dur hadir dengan banyolan politiknya, fenomena humor yang berkelindan dengan politik sebenarnya pernah mengada di ruang publik atau lebih tepatnya di ranah media. Catatan Seno Gumira Ajidarma dalam buku Antara Tawa dan Bahaya: Kartun dalam Politik Humor menjelaskan bahwa para kartunis, sebagai karikaturis, di masa Orde Baru (Orba) menempati posisi yang unik.

Nama-nama seperti GM. Sudarta, Pramono, Dwi Koendoro, dan Tris Sakeh adalah lagenda karikaturis di masa Orba. Sebagai kartunis, mereka semua “dipaksa” berpikir bagaimana caranya kritik tetap berfungsi, tanpa menimbulkan kegusaran sama sekali.

Dulu, kritik adalah kosakata tabu bagi rezim. Seno Gumira menyebutkan bahwa dalam bahasa resmi, kritik yang dihalalkan hanyalah “kritik membangun”, dengan kata lain justru berarti “jangan terlalu kritis”. Humor yang hadir dalam media “diwajibkan” memiliki dua wajah sekaligus, yakni lucu sekaligus mengakali kritik.

Dalam dunia komedi, kita mungkin mengenal trio Warkop, yakni Dono, Kasino, dan Indro. Kehadiran mereka sebagai lagenda komedi di Indonesia adalah karena humor mereka tak lekang oleh zaman. Selain itu, mereka juga menghadirkan kritik sosial yang “cukup keras” lewat medium layar lebar hingga televisi.

Walaupun, humor dari kedua entitas di atas, trio Warkop dan karikatur di berbagai media koran, juga dikenal sangat humanis, namun rasanya belum ada yang dapat menyamai Gus Dur dalam menghadirkan banyolan. Sosok Gus Dur menghadirkan wajah lain dalam humor. Gus Dur adalah humor itu sendiri, dengan kata lain humor Gus Dur tidak terpisah dari sosoknya.

Artinya, figur Gus Dur yang juga dikenal dengan sebagai pejuang kemanusiaan tentu politik humor beliau tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia. Siapa saja yang turut berjuang meneruskan perjuangan Gus Dur, maka, di saat bersamaan, mereka harus bertautan dengan humor-humor Gus Dur.

Sebab, perjuangan Gus Dur tidak melulu disampaikan lewat narasi berat dan kata-kata njelimet dalam esai atau artikel dengan uraian panjang. Sebagian apa yang diperjuangkan Gus Dur malah didedahkan lewat anekdot-anekdot lucu sekaligus sarkas, seperti “Gitu Aja Kok Repot!” yang begitu fenomenal sekaligus tak lekang di makan zaman.

Menariknya, jika kita meminjam diktum milik Roland Barthes, “Pengarang telah mati” maka hal ini tidak berlaku untuk sosok Gus Dur. Beliau boleh saja telah meninggalkan kita, namun humornya masih saja bisa melekat dengan figur seorang Gus Dur. Hal ini disebabkan sosok Gus Dur, nilai perjuangannya, serta humor sebagai mediumnya tidak dapat dipisahkan.

Wajar jika sosok Gus Dur kemudian menjadi sangat fenomenal. Tidak saja karena perjuangannya menegakkan nilai kemanusiaan, namun juga medium humornya yang dapat diserap oleh sebagian besar masyarakat, bahkan melintas batas generasi yang belum pernah bertemu atau lahir pasca meninggalnya Gus Dur.

Selain itu, mungkin ada yang tidak setuju pada pendapat ini, dikenal sebagai ulama dan pernah menjabat Presiden Indonesia sedikit banyak turut berperan dalam menjaga memori masyarakat pada figur dan apa yang diperjuangkan Gus Dur. Walaupun, di sisi lain, beliau dikenal sangat egaliter. Namun, hal itu dapat terus mengingatkan masyarakat di berbagai lapisan dan generasi pada apa yang pernah dilakukan, dicontohkan, dan diperjuangkan Gus Dur semasa hidupnya.

Oleh sebab itu, tak mengherankan kemudian jika gaya banyolan Gus Dur dalam menghadapi beragam perbedaan, turut menginspirasi kelompok anak muda untuk menghidupkan humor di ranah digital. Mereka tidak saja sering mengutip humor-humor Gus Dur, namun juga hadir dengan humor yang lebih kekinian atau bahasa yang lebih familiar dengan generasi milenial dan gen-Z.

Alangkah disayangkan di tengah membuncahnya gairah keberagamaan di masyarakat, politik identitas malah mendapatkan tempat yang leluasa di dalamnya. Akibatnya, keberagamaan kita sangat segregatif yang berujung hanya ada kita-mereka. Kita malah disibukkan membangun dinding pembatas yang tinggi sehingga sering gagal melihat nilai-nilai kebersamaan yang ada dalam setiap agama.

Humor kemudian dipercaya dapat meruntuhkan dinding tersebut dan mulai membangun jembatan. Namun, di tengah euforia tersebut kita mungkin lupa untuk bertanya, apakah daya bongkar dalam humor cukup untuk melakukan hal besar tersebut?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu mengulik terlebih dahulu, humor dalam teori komunikasi adalah suatu bentuk komunikasi yang memaksa manusia untuk menghadapi aspek-aspek paradoksal atas kenyataan. Dengan kata lain, salah satu cara manusia berurusan dengan apa yang terlihat sulit untuk di rubah adalah menertawakannya.

Berangkat dari titik itulah, humor memiliki daya dobrak yang kuat, apalagi humornya Gus Dur. Sebagaimana dijelaskan di atas, humor Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari sosoknya. Oleh sebab itu, kekuatan dari banyolan Gus Dur tidak hanya menertawakan kenyataan yang paradoks, namun di saat bersamaan memiliki daya dobrak yang lebih untuk membongkar atau melawan politik identitas yang sangat segregatif hari ini.

Dirgahayu Gus Dur, kau telah meneladankan, kami akan melanjutkan perjuanganmu.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin

Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *