10 Provinsi ini Memiliki Tingkat Inflasi Tertinggi di Indonesia, Apa Kemungkinan Dampaknya?

10 Provinsi ini Memiliki Tingkat Inflasi Tertinggi di Indonesia, Apa Kemungkinan Dampaknya?

Surabaya (TintaSantri.com) – Tekanan inflasi terus menghantui perekonomian dunia, termasuk di Indonesia. Pemerintah Indonesia menjelaskan bahwa tingkat inflasi pada pertengahan 2022 akan mencapai 4,94 persen. Beberapa pertemuan dibahas, seperti Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2022 di Istana Negara, Kamis (18/8/2022).

Meski persentase inflasi masih belum setinggi negara lain, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan jumlah tersebut melebihi perkiraan. Ia juga menjelaskan, melonjaknya tingkat inflasi di Indonesia antara lain disebabkan tingginya inflasi di sektor pangan yang mencapai 11,47 persen. Hal ini juga mempengaruhi laju inflasi di sejumlah provinsi di Indonesia.

Lebih detail, berikut 10 provinsi teratas dengan tingkat inflasi tinggi di pertengahan 2022
1. Jambi – 7,7 persen
2. Sumatera Barat – 7,1 persen
3. Kalimantan Tengah – 6,9 persen
4. Maluku – 6,7 persen
5. Papua – 6,5 persen
6. Bali – 6,4 persen
7. Bangka Belitung – 6,4 persen
8. Aceh – 6,3 persen
9. Sulawesi Tengah – 6,2 persen
10. Kepulauan Riau – 6 persen

Seperti kita ketahui, dampak inflasi akan lebih terlihat jika menyangkut negara. Namun tidak menutup kemungkinan dampak ini akan terjadi di setiap provinsi. Dampak nyata dari inflasi adalah:

1. Mengikis Daya Beli

Daya beli masyarakat yang semakin melemah merupakan efek utama dan paling umum dari inflasi. Kenaikan harga secara keseluruhan dari waktu ke waktu mengurangi daya beli, memaksa orang untuk semakin mengurangi konsumsi.

Hilangnya daya beli ini juga dapat terjadi pada tingkat inflasi yang cenderung rendah, misalnya sebesar 2% atau 4%. Sedangkan untuk tingkat inflasi yang tinggi, daya beli akan turun berkali-kali lipat. Untuk mengetahui indikator ini, Anda bisa mengeceknya melalui Consumer Price Index (CPI) dan Federal Reserve fokus pada PCE Price Index dalam membidik besarnya inflasi.

2. Secara tidak langsung menyakiti orang miskin

Orang dengan pendapatan rendah cenderung menghabiskan seluruh pendapatannya untuk kebutuhan dasar dan akomodasi. Sehingga jarang diantara mereka yang memiliki tabungan atau investasi untuk mengatasi inflasi. Inilah yang dimaksud para ekonom dengan mengapa orang dengan pendapatan rendah berkorelasi dengan kecenderungan konsumsi marjinal yang lebih tinggi.

Orang-orang di bawah garis kemiskinan juga cenderung tidak memiliki aset seperti real estat, yang secara tradisional menjadi lindung nilai keuangan terhadap inflasi. Di sisi lain, penerima bantuan sosial atau jaminan sosial melakukan penyesuaian biaya hidup berdasarkan indeks harga konsumen.

3. Tingkat inflasi yang lebih tinggi mengancam pekerja (harga-upah)

Laju inflasi yang masih kecil, pada kisaran 1-3% per tahun, biasanya hanya mempengaruhi sebagian kecil saja, seperti beberapa kenaikan harga pangan, seperti telur. Namun, jika meningkat 7-20% per tahun, provinsi dan negara harus siap menghadapi ancaman hiperinflasi.

Ketika inflasi meningkat, komunitas pekerja mulai menuntut kenaikan upah yang lebih besar dari perusahaan. Pengusaha juga akan kesulitan menanggung biaya tersebut dan memutuskan untuk menaikkan harga output produk. Ini jelas memicu spiral harga-upah.

Itulah tiga konsekuensi jika inflasi di tingkat provinsi terus meningkat dan tidak bisa ditangani. Sebab dampak inflasi lainnya yang cenderung lebih besar akan terjadi jika dilakukan oleh negara. Seperti menaikkan suku bunga, menurunkan biaya layanan pinjaman bank, kerugian ekspor, penurunan pertumbuhan lapangan kerja jangka panjang, resesi triwulanan, dan sebagainya. (Kai/ian)


artikel berita ini telah tayang di TintaSantri.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *