Category Archives: Aswaja

Mengenal Aswaja Sebagai Manhaj Fikr

tintasantri.com – Pada tulisan ini, Ngadmin akan menyampaikan tulisan yang berjudul Mengenal Aswaja Sebagai Manhaj Fikr, tujuannya supaya kita bisa mengenal dan memahami aswaja yang sesungguhnya.

Pengertian Aswaja

Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut, yaitu: Ahl, berarti keluarga, golongan, atau pengikut. Al-Sunnah, secara bahasa bermakna al-thariqah-wa-law-ghaira mardhiyah (jalan atau cara walaupun tidak diridhoi). Al-Jama’ah, berasal dari kata jama’ah artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian ke sebagian lain. Jama’ah berasal dari kata ijtima’ (perkumpulan), lawan kata dari tafarruq(perceraian), dan furqah(perpecahan). Jama’ah adalah sekelompok orang banyak dan dikatakan sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Menurut istilah “sunnah” adalah suatu cara untuk nama yang diridhoi dalam agama, yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW atau selain dari kalangan orang yang mengerti tentang Islam. Seperti para sahabat Rasulullah. Secara terminologi aswaja atau Ahlusunnah wal jama’ah golongan yang mengikuti ajaran rasulullah dan para sahabat-sahabatnya.

Di dalam kitab Ghunyah Li thalibi thariqil Haq Syekh Abdul Qodir Al Jaelani, definisi sunnah adalah segala sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau.

Dengan begitu, orang yang mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW dan sahabat itulah yang disebut Ahlussunnah Wal Jamaah. sedangkan orang yang menolak ajaran sahabat, tentu tidak masuk kategori Ahlussunnah Wal Jamaah.

Sedangkan jamaah secara istilah menurut Syekh Abdul Qodir Al Jaelani adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah SAW Pada masa Khulafaur Rasyidin dan orang-orang yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT.

Sejarah Lahirnya Aswaja

Kelahiran Aswaja, atau lebih tepatnya terminologi Aswaja, merupakan respon atas munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam memahami dalil-dalil agama pada abad ketiga Hijriah. Pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan, yang berakhir dengan tahkim (arbitrase), mengakibatkan pendukung Ali terpecah menjadi dua kubu.

Kubu pertama menolak tahkim dan menyatakan Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash, dan semua yang terlibat dalam tahkim telah kafir karena telah meninggalkan hukum Allah. Mereka memahami secara sempit QS. Al-Maidah:44: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka telah kafir”. Semboyan mereka adalah laa hukma illallah, tiada hukum selain hukum Allah. Kubu pertama ini kemudian menjadi Khawarij.

Sedangkan kubu kedua mendukung penuh keputusan Ali, sebab Ali adalah representasi dari Rasulullah SAW, Ali adalah sahabat terdekat sekaligus menantu Rasulullah saw. Keputusan Ali adalah keputusan Rasulullah saw. Kubu kedua ini kemudian menjadi Syiah. Belakangan, golongan ektstrem (rafidhah) dari kelompok ini menyatakan bahwa tiga khalifah sebelum Ali tidak sah. Bahkan golongan Syiah paling ekstrem mengkafirkan seluruh sahabat Nabi Saw kecuali beberapa orang saja yang mendukung Ali. Di sinilah awal mula pertikaian antara Syiah dengan Khawarij yang terus berlangsung hingga kini.

Khalifah Ali kemudian dibunuh oleh Khawarij. Pembunuhnya adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang penganut fanatik Khawarij. Ibnu Muljam ini sosok yang dikenal sebagai penghafal Al-Quran, sering berpuasa, suka bangun malam, dan ahli ibadah. 

Berdasarkan musyawarah ahlul halli wal áqdi yang beranggotakan sahabat-sahabat besar yang masih tersisa waktu itu, menyepakati kedudukan Ali sebagai khalifah digantikan oleh puteranya Al-Hasan. Namun Al-Hasan hanya dua tahun menjabat sebagai khalifah. Ia mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah karena menurut ijtihadnya mengundurkan diri adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan perselisihan umat. Dalam sejarah, tahun pengunduran diri Al-Hasan dinamakan “am al-jama’ah” atau tahun persatuan.

Naiknya Muawiyah menjadi khalifah menimbulkan reaksi keras dari kelompok Syiáh dan Khawarij. Mereka menolak kepemimpinan Muawiyah dan menyatakan perang terhadap Bani Umayah. Perselisihan makin memuncak manakala Muáwiyah mengganti sistem khilafah menjadi monarki absolut, dengan menunjuk anaknya Yazid sebagai khalifah selanjutnya.

Di sisi lain, tragedi Karbala yang menyebabkan terbunuhnya cucu Rasulullah saw Al-Husein dan sebagian besar ahlul bait Rasulullah saw pada masa Khlalifah Yazid bin Muawiyah, telah mengobarkan semangat kaum Syiah untuk memberontak terhadap Bani Umayah. Pertikaian selanjutnya melebar jadi pertikaian segitiga antara Bani Umayah, Syiah, dan Khawarij. Pertikaian terus berlanjut hingga masa Bani Abbasiah. Dua kelompok ini senantiasa merongrong pemerintahan yang sah.

Chaos politik yang melanda umat Islam awal pada akhirnya juga melahirkan kelompok lain di luar Syiah dan Khawarij. Pada awal abad ketiga Hijriah muncul kelompok Murjiáh, yang berpendapat bahwa dalam persoalan tahkim tidak ada pihak yang berdosa. Dosa dan tidaknya serta kafir dan tidaknya seseorang bukanlah diputuskan di dunia, melainkan di akhirat oleh Allah SWT.

Dari persoalan politik kemudian merembet menjadi persoalan akidah. Perdebatan siapa yang bersalah dalam konflik antara Ali dan Muawiyah melebar jadi perdebatan tentang perbuatan manusia. Setelah Murjiáh, muncullah aliran Jabbariah (fatalisme) dan Qodariah (free act and free will). Jabbariah berpendapat, perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, artinya manusia tak lebih laksana wayang yang digerakkan oleh dalang. Qodariah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya tanpa ada “campur tangan” Tuhan terhadapnya.

Setelah Qodariah dan Jabbariah, berikutnya muncul aliran Mu’tazilah yang berpendapat sama dengan Qodariah dalam hal perbuatan manusia, namun mereka menolak penetapan sifat (atribut) pada Allah. Menurut Mu’tazilah, bila Allah memiliki sifat berarti ada dua materi pada Allah, yakni Dzat dan Sifat, hal ini berarti telah syirik atau menduakan Allah.

Lahirnya aliran-aliran ekstrem setelah Syiah dan Khawarij bukan hanya disebabkan oleh persoalan politik yang melanda umat Islam awal, akan tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dari luar Islam. Hal ini merupakan imbas dari semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam yang meliputi wilayah-wilayah bekas kekaisaran Persia dan Romawi yang sudah lebih dahulu memiliki peradaban yang mapan dan telah bersentuhan dengan rasionalisme Yunani dan filsafat ketimuran.

Di awal tulisan ini telah disebutkan, kemunculan istilah Aswaja merupakan respon atas kelompok-kelompok ekstrem pada waktu itu. Aswaja dipelopori oleh para tabi’in (generasi setelah sahabat atau murid-murid sahabat) seperti Imam Hasan Al-Bashri, tabi’t tabiín (generasi setelah tabi’ín atau murid-murid tabi’ín) seperti Imam-imam mazhab empat, Imam Sufyan Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah. Ditambah generasi sahabat, inilah yang disebut dengan periode salaf, sebagaimana disebut oleh Rasulullah saw sebagai tiga generasi terbaik agama ini.

Selepas tabi’ tabiín ajaran Aswaja diteruskan dan dikembangkan oleh murid-murid mereka dan dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya.Mulai dari Imam Abul Hasan Al-Asyári, Imam Abu Manshur Al-Maturidi, Imam Al-Haromain, Imam Al-Junaid Al-Baghdadi, Imam Al-Ghazali dan seterusnya sampai Hadratussyekh Hasyim Asyári.

Manhaj Aswaja

Manhaj aswaja yang pokok adalah tawassuth, ta’adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah;143)

Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata وَسَطًا dalam firman Allah di atas dengan adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan fatwa karena perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena perbedaan kondisi dan psikologi seseorang adalah adil.Selain ayat di atas, ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya firman Allah:

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’: 29)

Dalam firman-Nya yang lain,

وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra’: 110)

Sementara dalam hadits dikatakan,

خَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا

“Sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat.”

Mirip dengan hadits di atas adalah riwayat,

وَخَيْرُ اْلأَعْمَالِ أَوْسَطُهَا وَدِيْنُ اللهِ بَيْنَ الْقَاسِىْ وَالْغَالِىْ

“Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada di antara yang beku dan yang mendidih.”

Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut: Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (عدل بين ظلمين) atau kebenaran di antara dua kebatilan (حق بين باطلين), seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme. Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang memercayai Tuhan Yang Esa. Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud. Allah berfirman;

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)

Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, (a). wasathiyyah antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memerhatikan aspek rohani saja atau jasmani saja, melainkan memerhatikan keduanya. Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya. (b). Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql dan naql. Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid. (c).  Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat,  antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.

Ketiga, realistis (wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis. Islam memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada pada realitas yang terjadi, melainkan justru memerhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas. Contoh wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah dalam kondisi dharurat atau hajat.

Watak wasathiyyah dalam Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj. Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:

Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti ijma’ dan qiyas.

Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini penisbatannya kepada ashabul madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk bermazhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan bermazhab secara Qauli.

Pola bermazhab dalam NU berlaku dalam semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf, seperti dalam rincian berikut: (a). Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari mazhab empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Malik ibn Anas, mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafii dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. (b). Di bidang aqidah mengikuti mazhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan mazhab Imam Abu Manshur al-Maturidi. (c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan mazhab Imam Abu Hamid al-Ghazali.

Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna.

Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa. 

Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh mereka kafir.

Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa). 

Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdlatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut.

Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim, ahlul qiblah.

Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjaga ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan seluruh warga NU.

Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

Beberapa Ajaran Aswaja

1. Pertikaian politik yang terjadi di antara para sahabat Nabi saw merupakan ijtihad para sahabat, bila benar mendapat dua pahala dan bila salah mendapat satu pahala. Aswaja mengambil sikap tawaquf (diam) atas perselisihan yang terjadi di antara para sahabat dan menyatakan keadilan para sahabat (hadisnya bisa diterima).

2. Dalam masalah takfir, Aswaja amat berhati-hati, karena bila sembrono efeknya akan kembali kepada si penuduh. Aswaja tidak akan mudah mengkafirkan siapapun selama masih mengakui tidak ada ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan allah; mengakui hal-hal prinsip dan sudah pasti dalam agama(al-ma’lum mina diini biddhoruroh) seperti rukun Islam, rukun iman, dan perkara-perkara gaib seperti surga, neraka, hisab, shirath, malaikat, jin, peristiwa isra’ dan mi’raj dll. yang informasi mengenai hal-hal tersebut hanya diketahui dari Kitabullah dan Sunnah Nabi saw yang mutawatir.

3. Aswaja juga tidak mudah memvonis sesat sebuah pemikiran atau pendapat seseorang yang berangkat dari dalil yang tidak tegas (ijtihadi) atau masih terbuka ruang perbedaan pendapat di dalamnya. Aswaja amat menghargai perbedaan pendapat karena perbedaan pendapat di kalangan umat adalah rahmat.

4. Mengenai perbuatan manusia, Aswaja berpendapat bahwa perbuatan manusia pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan, namun manusia memiliki kuasa (kasb) atas perbuatannya yang bersamaan dengan kehendak Tuhan.

5. Dalam memahami teks Al-Quran dan sunnah, Aswaja berpendapat bahwa ada ruang bagi akal untuk memahami teks. Artinya ada teks yang mengandung makna haqiqi dan ada teks yang mengandung makna majazi yang membuka ruang akal (tafsir) untuk memahaminya.

6. Mengenai perbuatan dosa atau masuk surga dan neraka manusia, Aswaja berpendapat manusia divonis telah berdosa di dunia apabila telah melanggar hukum-hukum syariat sedangkan di akhirat mutlak adalah keputusan Allah.

7. Mengenai sifat Allah, Aswaja berpendapat bahwa Allah memiliki sifat. Dzat (esensi) dan Sifat (atribut) adalah dua hal yang berbeda namun tak dapat dipisahkan, seperti halnya sifat manis yang melekat pada gula. Antara atribut manis dan esensi pada gula keduanya menyatu, namun tak bisa dilepaskan satu sama lain. Sifat senantiasa menyatu dengan Dzat (esensi).

8. Terkait dengan politik dan kekuasaan, Aswaja menyatakan haram hukumnya bughot (memberontak) meskipun pemerintahan itu zhalim,karena hanya akan menimbulkan pertikaian dan pertumpahan darah yang tak berkesudahan di kalangan umat. Namun pemerintahan hasil kudeta adalah pemerintahan yang sah karena terkait dengan kesejahteraan umat dan legalnya beberapa hukum syariat.

9. Aswaja tidak menolak tradisi dan kebudayaan yang sudah lama berkembang dan mendarah daging di tengah masyarakat, asal tidak bertentangan dengan syariat. Namun bila bertentangan dengan syariat, Aswaja menolak perubahan dilakuan secara radikal dan revolusioner. Perubahan harusdilakukan secara bertahap.Atau tidak harus merubahnya, tetapi mewarnai tradisi dan kebudayaan tersebut sehingga cocok dengan ajaran Islam

Orientasi Aswaja yang Sebenarnya

Ajaran Aswaja yang dianut oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia orientasinya tidak lain adalah mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan umat baik bidang agama, sosial, politik, maupun ekonomi. Aswaja bukanlah golongan yang menjadikan kekuasaan politik sebagai tujuan. Artinya, bagi Aswaja kekuasaan bukanlah indikator keberhasilan dakwah islamiah, tetapi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Hal ini berbeda dengan kaum Syiah dan Khawarij yang orientasi utamanya adalah kekuasaan politik.

Dengan prinsip jalan tengahnya, dalam bidang politikAswaja menghendaki tatanan politik yang stabil. Aswaja mengharamkan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dan mengharamkan sebuah tindakan dan pernyataan yang dapat memicu huru-hara politik dan chaos. Mengapa? Karena instabilitas politik dapat memicu kekacauan sosial yang pada ujungnyahanya akan menyengsarakan rakyat.

Aswaja menyatakan bahwa Islam tidak meninggalkan sistem politik apapun. Mengenai pengaturan negara diserahkan kepada masyarakat yang membentuk negara itu. Islam tidak mempersoalkan sistem demokrasi atau monarki. Islam hanya memerintahkan seorang pemimpin harus adil dan berakhlakul karimah, senantiasa musyawarah, serta berkomitmen untuk menyejahterakan rakyatnya, sebagaimana kaidah fiqh “tashorruful imam ála roíyah manuthun bil mashlahah” kebijakan seorang pemimpin berdasarkan kesejahteraan rakyatnya.

Dalam bidang sosial, Aswaja menginginkan sebuah tatanan masyarakat yang beradab(tamaddun), dalam arti masyarakat yang membangun, saling menghormati, dan toleran, meski berbeda agama, suku bangsa, dan budaya. Inilah tatanan masyarakat ideal sebagaimana telah diwujudkan oleh Nabi Muhammad saw 14 abad yang lalu ketika membangun masyarakat madani (civil society) di Madinah.

Dalam bidang ekonomi, Aswaja menekankan pemerataan ekonomi. Aswaja mengambil jalan tengah antara kapitalisme-liberalisme dan sosialisme-komunisme. Aswaja mengharamkan monopoli atas kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Aswaja juga mengharamkan sumber daya alam dan mineral sebuah negara dikuasai oleh pribadi atau segelintir orang. Aswaja menekankan keseimbangan antara hak-hak individu dan hak-hak masyarakat sehingga tercipta keadilan sosial dan ekonomi.

Aswaja dan Nasionalisme

Bagi Aswaja, agama dan nasionalisme tak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang. Agama dan nasionalisme saling mendukung. Nasionalisme tanpa agama akan kering nilai-nilai, sementara agama tanpa nasionalisme tak mampu menyatukan elemen-elemen bangsa. Hadratussyekh Hasyim Asyári jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan menyatakan,cinta tanah air sebagian dari iman. Siapa yang tidak mencintai tanah airnya maka belum sempurna imannya. Inilah prinsip jalan tengah Aswaja dalam menyikapi persoalan kebangsaan. Al-Quran secara jelas mengatakan: “sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal (berinteraksi)”.

Penutup

dari tulisan diatas kita bisa memahami, bahwa ajaran aswaja merupakan suatu ajaran yang sempurna untuk membangun peradaban yang aman, nyaman serta penuh kedamaian tidak hanya di dunia, namun juga untuk kehidupan di akhirat. 

Terjemah Kitab Hujjah Ahlussunnah Wal Jamaah

Terjemah Hujjah Ahlussunnah Wal Jamaah, terjemah hujjah ahlussunnah wal jamaah pdf, kitab hujjah ahlussunnah wal jamaah pdf, isi kitab hujjah ahlussunnah wal jamaah, kitab hujjah ahlussunnah wal jamaah makna pesantren pdf, makna pegon kitab hujjah ahlussunnah pdf, download kitab hujjah ahlussunnah wal jama ah makna pegon pdf, kitab kitab ahlussunnah wal jama ah
Terjemah Hujjah Ahlussunnah Wal Jamaah

TintaSantri.comKitab Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah merupakan salah satu kitab karya KH. Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, mantan Ketua Rais ‘Am PBNU tahun 1980-1984. Kitab ini telah selesai dikaji di Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak pada bulan Ramadhan kemarin. Di sisi lain, kitab ini juga cukup masyhur di kalangan Nahdliyin dan beberapa pesantren. Berikut terjemah lengkap Kitab Hujjah Ahlussunnah Wal Jamaah. Semoga bermafaat.

Daftar Isi

Muqoddimah (Pendahuluan)

Persoalan Ke-1, Kebolehan Memberikan Pahala Shodaqoh dan Bacaan Al-Qur’an Kepada Mayyit dan  Sampainya Pahala Bacaan Al-Qur’an dan Amal-Amal Kebaikan Kepada Mayyit

Persoalan Ke-2, Apakah Sholat Jum’at Memiliki Sunnah Qobliyyah atau Tidak ?

Persoalan Ke-3, Talqin Kepada Mayyit

Persoalan Ke-4, Sholat Tarawih

Persoalan Ke-5, Penetapan 2 Bulan, Yaitu Bulan Ramadhan dan Bulan Syawal

Persoalan Ke-6, Apakah Boleh Berziarah Kubur ?

Persoalan Ke-7, Apakah di Dalam Kubur Terdapat Kenikmatan dan Siksa ?

Persoalan Ke-8, Berziarah Kepada Rosulullah SAW dan Beratnya Perjalanan Kepadanya

Download Kitab Hujjah Ahlussunnah Wal Jamaah

Awalnya, kitab Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah merupakan karangan asli yang ditulis oleh KH. Ali Maksum. Namun, terdapat keterangan di halaman awal bahwa kitab Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sekarang beredar merupakan hasil suntingan dari Kiai Subki Pekalongan, disertai sedikit tambahan yang sama sekali tidak mengubah tujuan dan maksud awal ditulisnya kitab tersebut. Selain menyunting, Kiai Subki juga diberi izin oleh Kiai Ali untuk mencetak dan menyebar luaskan.

Sebagaimana yang tertulis di pendahuluan, kitab tersebut memiliki latar belakang tentang masifnya tuduhan bid’ah atau sesat. Kitab ini hadir untuk merespons dan menangkis tudingan bid’ah sembari menyusun kembali pendapat-pendapat para ulama mengenai permasalahan agama yang sudah disepakati golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Di sisi lain, kitab tersebut juga berusaha meyakinkan dan mempertegas argumen amaliyah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang banyak diragukan masyarakat.

Sedangkan tujuan ditulisnya kitab tersebut ialah ingin memberikan penjelasan serta nasihat kepada para santri Pondok Pesantren Krapyak secara khusus dan kepada masyarakat Islam secara luas tentang beberapa persoalan khilafiyah (perbedaan) dalam agama yang sebaiknya tidak perlu dipertengkarkan atau diperdebatkan antar sesama umat Islam, seperti persoalan salat sunah qobliyah Jumat dan mentalkin mayat setelah mengafani dan seterusnya.

Isi kitabnya juga menarik untuk dikaji dan diteliti, yang membahas seputar argumentasi-argumentasi amaliyah yang dianggap bid’ah oleh kalangan tertentu.

Tema-tema yang diangkat seputar penetapan awal bulan Ramadhan, jumlah rakaat Shalat Tarawih, tawasul, ziarah kubur dan lain sebagainya. Setiap tema selalu diiringi dengan pendapat ulama’ kemudian diperkuat dengan hadis-hadis nabi.

Adapun metode yang digunakan dalam kitab Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah: Pertama, menentukan tema-tema pembahasan. Kedua, menginventarisasi pendapat empat imam mazhab atau ulama’-ulama’ lain yang berkaitan dengan tema pembahasan.

Ketiga, diperkuat dengan hadis-hadis Nabi. Keempat, terkadang memberikan sedikit faedah. Kelima, memberikan ziyadah (tambahan) terkait keterangan-keterangan yang masih kurang.

Hampir seluruh pembahasan kitab Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah selalu diperkaya dengan pendapat dari empat imam mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Selain itu, kitab tersebut juga dilengkapi dengan beberapa pendapat ulama’ abad pertengahan, hingga modern kontemporer seperti Ibn Qayyim Al-Jauziyah, Ibn Taimiyah, Habib Abdullah bin ‘Alawiy Al-Haddadi dan ulama’-ulama’ lain.

Adapun klasifikasi hadis-hadis yang bersumber dari kutubu al-tis’ah, seperti hadis dari Shahih Bukhari memuat 13 hadis, Shahih Muslim 15 hadis, Sunan At-Turmudzi 12 hadis, Sunan Abu Daud 6 hadis, Sunan Ibnu Majah 8 hadis, Musnad Ahmad 7 hadis, Muawattha’ Imam Malik 2 hadis, Sunan An-Nasa’i 4 hadis dan tidak ditemukan hadis yang bersumber dari kitab Sunan Ad-Darimi.

Sementara itu, terdapat juga hadis-hadis yang tidak masuk kategori kutub al-Tis’ah seperti hadis dari Al-Hakim, Al-Baihaqi, At-Thabrani dan masih banyak lagi.

Berkenaan dengan metode pengutipan sebuah hadis dari kitab Ahlussunnah wa al-Jamaah sebagai berikut: menyebutkan hadis dengan hanya menuliskan matan, menyebutkan hadis sembari menuliskan matan dan mukharrij-nya, menyebutkan hadis sambil menuliskan sanad, matan dan mukharrij.

Kitab-kitab yang dijadikan rujukan tergolong mu’tabar, yakni: ahkam al-Fuqaha’, Bidayatul Mujtahidin, Al-Mizan, Al-Adzkar, Fathul Wahhab, Fathul Bari, Syarah Taqrib dan masih banyak lagi kitab-kitab lain. Meskipun tema yang diangkat dari kitab tersebut terlihat sepele atau hanya permasalahan ikhtilaf, tapi mushonnif (pengarang kitab) tetap menyodorkan rujukan-rujukan yang akurat.

Walaupun kitabnya yang terlihat kecil dan tipis, tetapi muatan pembahasannya sangat mendalam dan berusaha mendamaikan perbedaan pemahaman dalam Islam.

Kitab Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamah sebenarnya juga ingin menunjukkan bahwa pembahasan seputar tawasul, ziarah kubur, penetapan awal Ramadhan dan jumlah rakaat dalam salat Tarawih hanyalah perbedaan pemahaman dalam agama yang semua mempunyai dalilnya masing-masing.

Maka, wajar apabila di setiap tema pembahasan, KH. Ali Maksum selalu memberikan nasihat agar umat Islam tidak melakukan hal-hal seperti fitnah, pertengkaran, perdebatan dan sikap antipati kepada pelaku dan penentangnya, karena semua memiliki dasar dan argumen. Oleh karena itu, kitab ini dinamai dengan Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yang di dalamnya memuat dalil-dalil kuat dari golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Semoga terjemah Hujjah Ahlussunnah Wal Jamaah ini bermanfaat. anda juga bisa mendwonload terjemah Hujjah Ahlussunnah Wal Jamaah, link bisa di lihat di daftar isi.

Mudah Banget, Begini Cara Daftar KARTANU Online 2021

Cara Daftar KARTANU Online 2021
Cara Daftar KARTANU Online 2021

TintaSantri.Com –  Kali ini Ngadmin akan membagikan cara daftar KARTANU online 2021, sebelum Nagdmin jelaskan cara daftar KARTANU online 2021 yuk simak dulu penjelasan berikut.

MENGENAL KARTANU

KARTANU adalah akronim dari Kartu Tanda Anggota Nahdlatul Ulama. Kartu ini merupakan sebuah identitas yang dapat dimiliki oleh setiap warga Nahdliyin. Dalam perkembangannya, kehadiran KARTANU dimaksudkan bukan hanya sebagai penanda atau identitas saja, namun lebih dari itu KARTANU terus dikembangkan dalam rangka memudahkan warga Nahdliyin dan juga sekaligus sebagai sebuah bentuk khidmat dan pelayanan keummatan.

FUNGSI KARTANU

KARTANU memiliki fungsi utama sebagai sebuah kartu identitas warga Nahdliyin di seluruh penjuru Dunia, dengan suatu sistem yang disebut Single Identity Number (SIN). Dimana dalam bentuk tersebut menjadikan sebuah identitas unik yang dapat dimiliki setiap warga Nahdliyin.

Dengan begitu, secara administratif, single identity number (SIN) dapat dipergunakan warga Nahdliyin dalam mempermudah pelayanan di lingkungan Nahdlatul Ulama, menjadi sistem yang memiliki keamanan dan teknologi kelas dunia, serta benefit keumatan lainnya yang dapat dipergunakan warga Nahdliyin.

Dalam perkembangannya, Aplikasi KARTANU dapat dimanfaatkan sebagai sebuah layanan terbuka bagi siapapun guna memanfaatkan fitur yang ada seperti Amaliyah Nahdlatul Ulama maupun fitur lainnya yaitu terkait kebutuhan warga Nahdliyin dengan harga yang cukup bersaing dan dapat dimanfaatkan sebagai bentuk kampanye #UmkmNUBangkit.

Di samping itu, juga tersedia beberapa layanan kanal media dan informasi keumatan secara langsung terhubung dengan NU Online, NU Channel, dan TV NU.

CARA DAFTAR KARTANU ONLINE 2021

Unduh aplikasi KARTANU tersedia di Play Store dan Appstore dengan mengikuti link berikut

PENGGUNA ANDROID KLIK DI SINI
PENGGUNA iPhone KLIK DI SINI

Setelah berhasil menginstall aplikasinya lakukan Registrasi aplikasi, tekan “Daftar Sekarang”

Masuk aplikasi dan nikmati fitur “Amaliyah Nahdlatul Ulama, Layanan Berita NU, Toko NU, ZISWAF, Donasi serta layanan muamalah lainnya”.

Jika belum memiliki KARTANU, tekan “Ajukan Sekarang”

Isi dan lengkapi form pendaftaran hingga lampiran dokumen (KTP/KTP Anak/Kartu Keluarga/BPJS, Paspor/serta dokumen induk kependudukan lainnya)

KARTANU akan segera terbit melalui proses verfikasi dan persetujuan admin KARTANU di PCINU/PCNU, maksimum 14 hari kerja.

VIDEO TUTORIAL DAFTAR KARTANU 2021

PENUTUP

Itulah cara Daftar Kartanu Online 2021, Semoga bermanfaat. yang belum punya kartanu, yuk segera daftar dengan mengikuti langkah cara daftar kartanu online 2021 di diatas

HAUL KH. WAHAB HASBULLOH KE 50 DISIARKAN OLEH 250 KANAL YOUTUBE

Sebanyak 250 channel YouTube dengan total subcribe mencapai 4 juta dan MAXstream Telkomsel siap menyiarkan Haul Emas Virtual 50 Tahun KH Abd Wahab Chasbullah.

Acara yang akan disiarkan langsung dari Masjid Jami’ Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur pada Selasa 22 Juni 2021 jam 19.00 WIB.

“Subhanallah, target hanya 50 channel youtube yang live, sekarang sudah terdaftar 250 channel youtube dan MAXstream Telkomsel, menyebar di berbagai provinsi dan luar negeri,” kata Tim Kreatif Haul Emas Virtual KH Wahab Chasbullah, Helmy M Noor, di Surabaya, Senin.

Menurut dia, fakta ini menunjukkan bahwa resonansi Mbah Wahab luar biasa dan kesadaran masyarakat santri terhadap Inovasi Dakwah Digital juga cukup tinggi.

“Acaranya akan diikuti oleh Presiden Jokowi, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sirodj, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Ketua PWNU Jatim KH Marzuqi Mustamar, Gus Miftah, dan KH Mustofa Aqil Sirodj,” ujarnya

Alumni Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas dan owner Cita Entertainment ini menambahkan, channel youtube yang akan live, antara lain Khofifah Indar Parawansa, Gus Miftah Official, NU Channnel, Progresif TV, Pondok Pesantren Lirboyo, Cita Entertainment Official Youtube dan 250 channel lainnya.

“Selain itu, MAXstream Telkomsel juga akan menyiarkan secara langsung. Kolaborasi antara Youtube dan MAXstream makin memperkuat jangkaun syiar Haul Emas KH Abd Wahab Chasbullah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri,” kata Helmy.

Sementara itu, H. Mujtahidur Ridho (Gus Edo), Ketua Panitia Haul menambahkan, tingginya semangat youtuber santri untuk merelay Haul KH Abd Wahab Chasbulloh menginisiasi lahirnya Asosiasi Youtuber Santri Indonesia (AYSI).

“Ke depan, AYSI akan mendampingi para youtuber santri untuk mewujudkan komunitas Santri yang adaptif terhadap perkembangan teknologi digital dalam mewujudkan dakwah digital yang ramah, solutif dan rahmatan lil alamin,” ujarnya.

HM. Arum Sabil (tengah) bersama Helmy M Noor (kiri) di halaman Pelita Hati School (Foto: Tunasnegeri)

Senada, HM Arum Sabil, seorang praktisi Agribisnis dan Pendidikan Indonesia yang sekaligus menjadi tim penasihat AYSI mengatakan dengan adanya AYSI ini diharapkan dapat menciptakan Santri Entrepreneur yang professional, dinamis dan agamis dalam hal adaptif mengikuti perkembangan teknologi.

“Di zaman yang serba modern ini peranan teknologi informasi dan komunikasi di bidang pendidikan itu sangat penting, konkretnya 250 channel ini akan menciptakan peradaban digital sebagai penyeimbang informasi bagi masyarakat ” singkat Arum yang juga wakil DPP HKTI. 

Terjemah Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah

Terjemah Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah

Highlight kitab Risalah Aswaja KH. Hasyim Asy’ari

Ada beberapa pernyataan penting dari Kyai Hasyim Asy’ari dalam kitab ini. Antara lain:

– Wahabi adalah ahli bid’ah pengikut Muhammad bin Abdul Wahab, Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.

– Yang berhak mengklaim pengikuti Salafus Shalih adalah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja), bukan Wahabi Salafi.

– Bahwa umat Islam Indonesia dulunya bersatu dalam satu golongan Ahlussunnah Wal Jamaah dengan aqidah Asy’ariyah dan madzhab fiqih Syafi’iyah yang toleran dan menghormati tiga madzhab yang lain.

– Muslim Indonesia mulai pecah setelah masuknya aliran Wahabi Salafi dengan aqidah Ibnu Taimiyah yang mudah menyesatkan golongan lain. Di samping itu, fikihnya cenderung non-madzhab walaupun sebagian mengklaim pengikut Hanbali.

– Sawadul A’zham adalah golongan muslim terbesar yakni Ahlussunnah Wal Jamaah Asy’riyah Maturidiyah yang berfiqih madzhab empat.

Nama kitab: Terjemah kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah (رِسَالَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ)

Judul lengkap: رسالة أهل السنة و الجماعة في حديث الموتي و أشراط الساعة و بيان مفهوم السنة و البدعة

Pengarang: Hadratusy Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari

Penerjemah: KH. Abdullah Afif Pekalongan (Pasal 1 s/d 5 dan 9);

Ngabdurohman Al Jawi (Pasal 6, 8, 10)

Bidang studi: Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja)

Versi bahasa Arab: Edisi Online

Versi bahasa Indonesia: Download pdf

Catatan: Urutan bab / pasal di bawah berdasarkan urutan versi cetak dalam bahasa Arab terbitan Maktabah Al-turats Al-Islami Tebuireng Jombang

Daftar Isi

Pasal 1: Muqaddimah (Pengantar)

Pasal 2: Sunnah dan Bid’ah

Bid’ah Terbagi Menjadi Lima: Wajib, Haram, Sunnah, Makruh, Mubah

Pasal 3: Penduduk Jawa (Indonesia) Mayoritas Ahlussunnah, Bukan Wahabi

Aswaja Pewaris Generasi Salaf, Bukan Pengikut Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab

Ibnu Abdil Wahab dan Ibnu Taimiyah adalah Ahli Bid’ah

Wahabi Salafi Duri dalam Daging Umat Islam

Propaganda Sesat Wahabi Salafi: Merendahkan Ulama

Pasal 4: Salafi dan Sawadul A’zam itu Pengikut Ulama Madzhab Empat

Mengikuti Salah Satu Madzhab adalah Jalan Salafus Shalih

Menjaga Persatuan Umat

Tetap Berpegang pada Al Jamaah Pengikut Salafus Shalih

Pasal 5: Hukum Taqlid itu Wajib Bagi Orang Awam

Orang Awam Wajib Bertanya pada Ulama Mujtahid

Pemahaman Ahli Bid’ah atas Al Quran dan Hadits Tidak Dapat Dipercaya

Orang Awam Tidak Wajib Ikut Satu Madzhab

Orang Awam Boleh Konsisten Ikut Satu Madzhab atau Tidak

Orang yang Taqlid Boleh Ikut Imam yang Berbeda-beda

Pasal 6: Berhati-hati Dalam Mencari Ilmu Agama

Berhati-hati Terhadap Fitnah Ahli Bid’ah & Orang-orang Munafiq

Para Imam yang Menyesatkan

Pasal 7: Hadits dan atsar dicabutnya ilmu, dan mewabahnya kebodohan

Peringatan Nabi, bahwa akhir zaman adalah banyak kejelekan, Mengenai umatnya yang akan mengikuti bid’ah

Keberadaan agama yang hanya dipegang oleh segelintir orang

Pasal 8: Dosa Pelopor Ajaran Sesat

Pasal 9: Ahlussunnah adalah Pengikut Aqidah Asy’ariyah

73 Golongan yang Berbeda Aqidah bukan Fiqih

Perbedaan Aqidah Terjadi Sejak Era Sahabat

Nama 72 Golongan Aqidah Sesat

Pasal 10: Tanda-Tanda Hari Kiamat

Ahli Ibadah yang Bodoh, Penghafal Al Quran yang Fasiq

Percaya pada Pengkhianat, Tidak Percaya pada Orang Jujur

Masjid Tidak Pernah Dibuat Shalat

Kalimat Lailaha IllAllah Tidak Pernah Diucapkan

Arti Wu’ul dan Tuhut

10 Tanda Kiamat

Adanya Dukhan (Kabut)

Tentang Dajjal dan Fitnah Dajjal

Kekuatan dan Kesaktian Dajjal

Hewan Dabbah

Matahari Terbit dari Barat

Turunnya Nabi Isa

Munculnya Ya’juj dan Ma’juj

Seluruh Orang Islam akan Meninggal

Api Keluar dari Yaman

Pasal 11: Orang Mati Bisa Mendengar dan Bicara

Orang Mati Tahu yang Memandikan dan Mengkafani

Kembalinya Ruh ke dalam Jasad Setelah Mati

Pasal 12: Penutup

Kembali ke atas

1. Muqaddimah (Pengantar)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَلْحَمْدُ للهِ شُكْرًا عَلَى نَوَالِهِ, وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَﺁلِهِ, وَبَعْدُ, فَهَذَا كِتَابٌ أَوْدَعْتُ فِيْهِ شَيْئًا مِنْ حَدِيْثِ الْمَوْتَى وَأَشْرَاطِ السَّاعَةِ, وَشَيْئًا مِنَ الْكَلَامِ عَلَى بَيَانِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ, وَشَيْئًا مِنَ الْأَحَادِيْثِ بِقَصْدِ النَّصِيْحَةِ, وَالَى اللهِ الْكَرِيْمِ أَمُدُّ اَكُفَّ الْاِبْتِهَالِ, أَنْ يَنْفَعَ بِهِ نَفْسِيْ وَأَمْثَالِيْ مِنَ الْجُهَّالِ, وَأَنْ يَجْعَلَ عَمَلِيْ خَالِصًا لِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ, إِنَّهُ جَوَادٌ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ, وَهَذَا أَوَانُ الشُّرُوْعِ فِي الْمَقْصُوْدِ, بِعَوْنِ الْمَلِكِ الْمَعْبُوْدِ .

Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji bagi Allah, sebagai sebuah ungkapan rasa syukur atas segala anugerahNya. Rahmat ta’dzim dan salam mudah-mudahan terlimpahcurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. dan seluruh keluarga beliau.

Apa yang akan hadir dalam kitab ini, saya tuturkan beberapa hal antara lain: Hadits-hadits tentang orang-orang yang mati, tanda-tanda hari kiamat, penjelasan tentang sunnah dan bid’ah dan beberapa hadits yang berisi nasehat-nasehat agama.

Kepada Allah, Dzat Yang Maha Mulia kutengadahkan telapak tangan, kuberdoa dengan sepenuh hati, kumohonkan agar kitab ini memberikan manfaat untuk diri kami dan orang-orang bodoh semisal kami. Mudah-mudahan Allah menjadikan amal kami sebagai amal shalih Liwajhillahil Karim, karena Ia lah Dzat Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan segala pertolongan Allah Dzat yang disembah, penyusunan kitab ini dimulai.

2. Pasal Menjelaskan Tentang Sunnah dan Bid’ah

فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ

اَلسُّنَّةُ بِالضَّمِّ وَالتَّشْدِيْدِ كَمَا قَالَ أَبُو الْبَقَاءِ فِيْ كُلِّيَّتِهِ : لُغَةً اَلطَّرِيْقَةُ وَلَوْ غَيْرَ مَرْضِيَّةٍ. وَشَرْعًا اِسْمٌ لِلطَّرِيْقَةِ الْمَرْضِيَّةِ الْمَسْلُوْكَةِ فِي الدِّيْنِ سَلَكَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ عُلِمَ فِي الدِّيْنِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ. وَعُرْفًا مَا وَاظَبَ عَلَيْه مُقْتَدًى نَبِيًّا كَانَ اَوْ وَلِيًّا. وَالسُّنِّيُّ مَنْسُوْبٌ اِلَى السُّنَّةِ حُذِفَ التَّاءُ لِلنِّسْبَةِ.

وَالْبِدْعَةُ كَمَا قَالَ الشَّيْخُ زَرُوْقٌ فِيْ عُدَّةِ الْمُرِيْدِ : شَرْعًا إِحْدَاثُ اَمْرٍ فِي الدِّيْنِ يُشْبِهُ اَنْ يَكُوْنَ مِنْهُ وَلَيْسَ مِنْهُ سَوَاءٌ كَانَ بِالصُّوْرَةِ اَوْ بِالْحَقِيْقَةِ. لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. وَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :” وَكُلُّ مُحْدَثٍ بِدْعَةٌ “

وَقَدْ بَيَّنَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللهُ أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْحَدِيْثَيْنِ الْمَذْكُوْرَيْنِ رَاجِعٌ لِتَغْيِيْرِ الْحُكْمِ بِاعْتِقَادِ مَا لَيْسَ بِقُرْبَةٍ قُرْبَةً لَا مُطْلَقِ الْإِحْدَاثِ, اِذْ قَدْ تَنَاوَلَتْهُ الشَّرِيْعَةُ بِأُصُوْلِهَا فَيَكُوْنُ رَاجِعًا اِلَيْهَا اَوْ بِفُرُوْعِهَا فَيَكُوْنُ مَقِيْسًا عَلَيْهَا.

وَقَالَ الْعَلَّامَةُ مُحَمَّدٌ وَلِيُّ الدِّيْنِ اَلشِّبْثِيْرِيُّ فِيْ شَرْحِ الْأَرْبَعِيْنَ النَّوَوِيَّةِ عَلَى قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

وَدَخَلَ فِي الْحَدِيْثِ اَلْعُقُوْدُ الْفَاسِدَةُ, وَالْحُكْمُ مَعَ الْجَهْلِ وَالْجَوْرِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِمَّا لَا يُوَافِقُ الشَّرْعَ. وَخَرَجَ عَنْهُ مَا لَا يَخْرُجُ عَنْ دَلِيْلِ الشَّرْعِ كَالْمَسَائِلِ الْاِجْتِهَادِيَّةِ الَّتِيْ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اَدِلَّتِهَا رَابِطٌ اِلَّا ظَنُّ الْمُجْتَهِدِ وَكِتَابَةِ الْمُصْحَفِ وَتَحْرِيْرِ الْمَذَاهِبِ وَكُتُبِ النَّحْوِ وَالْحِسَابِ .

Pengertian Sunnah

Lafadz as-Sunnah dengan dibaca dhammah sin-nya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Baqa’ dalam kitab Kulliyat-nya secara etimologi adalah thariqah (jalan), sekalipun yang tidak diridhai.

Menurut terminologi syara’ as-Sunnah merupakan thariqah (jalan) yang diridhai dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rasulullah Saw. atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan di dalam masalah agama seperti para sahabat Ra.

Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Saw.: “Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada sunnahku dan sunnahnya Khulafaur Rasyidin setelahku.”

Sedangkan menurut terminologi ‘urf adalah apa yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali. Adapun istilah as-Sunni merupakan bentuk penisbatan dari lafadz as-Sunnah dengan membuang ta’ untuk penisbatan.

Pengertian Bid’ah

Bid’ah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Zaruq di dalam kitab ‘Iddat al-Murid menurut terminologi syara’ adalah: “Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran maupun dalam hakikatnya.”

Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Saw.: “Barangsiapa menciptakan perkara baru didalam urusanku, padahal bukan merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak.”

Dan sabda Nabi Saw.: “Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah.”

Para ulama rahimahullaah menjelaskan tentang esensi dari makna dua hadits tersebut di atas dikembalikan kepada perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum. Karena kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau berlandaskan furu’us syari’ah sehingga ia dapat dianalogikan kepada syari’at.

Al-‘Allamah Muhammad Waliyuddin asy-Syibtsiri dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah memberikan komentar atas sebuah hadits Nabi Saw.: “Barangsiapa membuat persoalan baru atau mengayomi seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan kepadanya laknat Allah.”

Masuk dalam kerangka interpretasi hadits ini yaitu berbagai bentuk akad-akad fasidah, menghukumi dengan kebodohan dan ketidakadilan, dan lain-lain dari berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara’.

Keluar dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya kecuali sebatas persangkaan mujtahid. Dan seperti menulis Mushaf, mengintisarikan pendapat-pendapat imam madzhab, menyusun kitab nahwu dan ilmu hisab.

Bid’ah Terbagi Menjadi Lima: Wajib, Haram, Sunnah, Makruh, Mubah

وَلِذَا قَسَّمَ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ اَلْحَوَادِثَ اِلَى الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ فَقَالَ : اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاجِبَةً كَتَعَلُّمِ النَّحْوِ وَغَرِيْبِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِمَّا يُتَوَقَّفُ فَهْمُ الشَّرِيْعَةِ عَلَيْهِ, وَمُحَرَّمَةً كَمَذْهَبِ الْقَدَرِيَّةِ وَالْجَبَرِيَّةِ وَالْمُجَسِّمَةِ, وَمَنْدُوْبَةً كَإِحْدَاثِ الرُّبُطِ وَالْمَدَارِسِ وَكُلِّ إِحْسَانٍ لَمْ يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ الْأَوَّلِ, وَمَكْرُوْهَةً كَزُخْرُفَةِ الْمَسَاجِدِ وَتَزْوِيْقِ الْمَصَاحِفِ, وَمُبَاحَةً كَالْمُصَافَحَةِ عَقِبَ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَالتَّوَسُّعِ فِي الْمَأْكَلِ وَالْمَشْرَبِ وَالْمَلْبَسِ وَغَيْرِ ذَلِكَ .

فَإِذَا عَرَفْتَ مَا ذُكِرَ تَعْلَمُ اَنَّ مَا قِيْلَ : إِنَّهُ بِدْعَةٌ, كَاتِّخَاذِ السُّبْحَةِ, وَالتَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ, وَالتَّهْلِيْلِ عِنْدَ التَّصَدُّقِ عَنِ الْمَيِّتِ مَعَ عَدَمِ الْمَانِعِ عَنْهُ, وَزِيَارَةِ الْقُبُوْرِ وَنَحْوِ ذَلِكَ لَيْسَ بِبِدْعَةٍ

وَإِنَّ مَا أُحْدِثَ مِنْ أَخْذِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأَسْوَاقِ اللَّيْلِيَّةِ, وَاللَّعِبِ بِالْكُوْرَةِ وَغَيْرَ ذَلِكَ مِنْ شَرِّ الْبِدَعِ

Karena itulah Imam Ibnu Abdis Salam membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima. Beliau berkata:

“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah Saw. (Bid’ah tersebut adakalanya):

1. Bid’ah Wajibah: seperti mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami maknanya.

2. Bid’ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.

3. Bid’ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.

4. Bid’ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.

5. Bid’ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar, membuat lebih dalam makanan dan minuman, pakaian dan lain sebagainya.”

Setelah kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim bahwa berikut ini adalah bid’ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan bid’ah.

Dan sesungguhnya perkara-perkara baru seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar malam, bermain undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid’ah.