Category Archives: Aqidah

sejarah islam

Awal Mula Perkembangan dan Peristiwa Penting Sejarah Islam

tintasantri.com – Sejarah Islam adalah kisah perjalanan agama Islam sejak awal mula hingga saat ini. Islam pertama kali muncul di kota Mekkah pada abad ke-7 Masehi melalui seorang nabi bernama Muhammad. Pada saat itu, kota Mekkah dihuni oleh orang-orang Arab yang menyembah berbagai dewa dan berpindah-pindah agama.

Muhammad menerima wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril dan mulai menyebarkan ajaran Islam. Pada awalnya, dakwahnya tidak mendapat sambutan baik dari orang-orang Mekkah dan Muhammad dan pengikutnya mengalami banyak tekanan dan penganiayaan. Namun, semakin lama, dakwah Muhammad mulai menyebar ke berbagai wilayah Arab dan ia berhasil memenangkan banyak pengikut.

Pada tahun 622 Masehi, Muhammad dan para pengikutnya hijrah ke kota Yatsrib yang kemudian dikenal dengan sebutan Madinah. Peristiwa hijrah ini menjadi titik awal penanggalan dalam kalender Islam. Setelah hijrah, umat Islam di Madinah semakin berkembang dan Muhammad menjadi pemimpin mereka.

Selama hidupnya, Muhammad menyebarluaskan ajaran Islam dan memimpin beberapa perang dalam rangka membela agama Islam. Setelah wafatnya, kepemimpinan umat Islam beralih ke para khalifah yang terus memperluas wilayah kekuasaan Islam.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, wilayah kekuasaan Islam meliputi seluruh Semenanjung Arab, Mesir, Suriah, dan Persia. Pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan, kekuasaan Islam semakin meluas hingga mencapai Afrika Utara dan Asia Tengah.

Selanjutnya, pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, terjadi perpecahan dalam umat Islam yang kemudian memunculkan dua aliran besar, yaitu Sunni dan Syiah. Perpecahan ini terus berlangsung hingga saat ini.

Selain itu, dalam sejarah Islam juga terdapat masa kejayaan di bidang ilmu pengetahuan dan seni. Pada masa kekhalifahan Abbasiyah, terjadi perkembangan pesat dalam ilmu pengetahuan, filsafat, dan sastra. Pusat-pusat ilmu seperti Baghdad, Kairo, dan Cordoba menjadi tempat berkumpulnya para ulama dan ilmuwan terkemuka.

Dalam seni, Islam menciptakan banyak karya seni yang indah dan bernilai tinggi, seperti seni kaligrafi, arsitektur, dan seni ukir. Contoh karya seni Islam yang terkenal antara lain Masjidil Haram di Mekkah dan Alhambra di Spanyol.

Dalam perkembangan sejarah Islam, terdapat banyak peristiwa penting yang mempengaruhi agama dan kehidupan umat Islam. Beberapa di antaranya adalah peristiwa hijrah, perang Badar, perang Uhud, penaklukan Mekkah, dan perjanjian Hudaibiyah.

Sejarah Islam adalah Kisah Secara Keseluruhan

Sejarah Islam

Islam adalah agama yang didirikan oleh Nabi Muhammad pada abad ke-7 di kota Mekah, Arab Saudi. Nabi Muhammad dianggap sebagai nabi terakhir dan final oleh umat Muslim, dan agama Islam diyakini sebagai agama monotheis yang mengajarkan tentang pengabdian dan penyerahan diri kepada Allah.

Sebelum berdirinya Islam, Arab pada saat itu dikuasai oleh berbagai kabilah dan suku yang berbeda-beda. Mereka memiliki sistem sosial dan politik yang primitif serta kepercayaan animisme, politeisme, dan penyembahan berhala. Namun, sebelum kelahiran Nabi Muhammad, terdapat pula beberapa kepercayaan monotheistik yang tersebar di semenanjung Arab, seperti agama Kristen dan Yahudi.

Pada usia 40 tahun, Nabi Muhammad mendapat wahyu dari Allah SWT melalui malaikat Jibril yang memberitahunya bahwa ia adalah nabi terakhir yang ditugaskan untuk menyebarkan ajaran tauhid dan menyeru manusia kembali kepada Allah. Nabi Muhammad mulai menyebarkan ajarannya secara diam-diam pada awalnya, namun kemudian semakin terbuka hingga berhasil membangun masyarakat Islam di kota Madinah.

Pada tahun 622 Masehi, Nabi Muhammad dan para pengikutnya pindah ke Madinah, peristiwa ini dikenal sebagai hijrah dan menjadi awal dari penanggalan Hijriyah dalam kalender Islam. Di Madinah, Nabi Muhammad membangun sebuah negara Islam yang pertama dan mulai memperluas pengaruhnya di seluruh wilayah Arab.

Perkembangan Islam mulai meroket setelah Nabi Muhammad menaklukkan kota Mekah pada tahun 630 Masehi. Kemudian, Islam mulai menyebar ke luar wilayah Arab melalui perdagangan dan penaklukan. Selama kurun waktu beberapa abad, Islam berhasil menyebar ke seluruh dunia dan menjadi salah satu agama terbesar di dunia saat ini.

Selama sejarahnya, Islam telah menghasilkan banyak ilmuwan, filosof, dan pemikir yang terkenal. Di antara mereka adalah Abu al-Qasim al-Zahrawi, seorang ahli bedah terkenal pada abad ke-10, Ibnu Sina atau Avicenna, seorang ahli filsafat dan kedokteran pada abad ke-11, serta Al-Ghazali, seorang filsuf dan teolog terkemuka pada abad ke-12.

Saat ini, Islam merupakan agama dengan pengikut terbesar kedua di dunia setelah Kristen. Umat Muslim tersebar di seluruh dunia dan memiliki peran penting dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, dan sosial.

Dalam Islam sendiri terdapat dua kelompok utama, yaitu Sunni dan Syiah. Keduanya memiliki perbedaan pandangan dalam hal kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad. Namun, kedua kelompok sepakat bahwa Islam adalah agama yang diutuskan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad dan ajaran-ajarannya harus diikuti oleh umat Muslim di seluruh dunia.

Mengenal Aswaja Sebagai Manhaj Fikr

tintasantri.com – Pada tulisan ini, Ngadmin akan menyampaikan tulisan yang berjudul Mengenal Aswaja Sebagai Manhaj Fikr, tujuannya supaya kita bisa mengenal dan memahami aswaja yang sesungguhnya.

Pengertian Aswaja

Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunnah wa al-Jama’ah. Ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut, yaitu: Ahl, berarti keluarga, golongan, atau pengikut. Al-Sunnah, secara bahasa bermakna al-thariqah-wa-law-ghaira mardhiyah (jalan atau cara walaupun tidak diridhoi). Al-Jama’ah, berasal dari kata jama’ah artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian ke sebagian lain. Jama’ah berasal dari kata ijtima’ (perkumpulan), lawan kata dari tafarruq(perceraian), dan furqah(perpecahan). Jama’ah adalah sekelompok orang banyak dan dikatakan sekelompok manusia yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Menurut istilah “sunnah” adalah suatu cara untuk nama yang diridhoi dalam agama, yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW atau selain dari kalangan orang yang mengerti tentang Islam. Seperti para sahabat Rasulullah. Secara terminologi aswaja atau Ahlusunnah wal jama’ah golongan yang mengikuti ajaran rasulullah dan para sahabat-sahabatnya.

Di dalam kitab Ghunyah Li thalibi thariqil Haq Syekh Abdul Qodir Al Jaelani, definisi sunnah adalah segala sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau.

Dengan begitu, orang yang mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW dan sahabat itulah yang disebut Ahlussunnah Wal Jamaah. sedangkan orang yang menolak ajaran sahabat, tentu tidak masuk kategori Ahlussunnah Wal Jamaah.

Sedangkan jamaah secara istilah menurut Syekh Abdul Qodir Al Jaelani adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah SAW Pada masa Khulafaur Rasyidin dan orang-orang yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT.

Sejarah Lahirnya Aswaja

Kelahiran Aswaja, atau lebih tepatnya terminologi Aswaja, merupakan respon atas munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam memahami dalil-dalil agama pada abad ketiga Hijriah. Pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan, yang berakhir dengan tahkim (arbitrase), mengakibatkan pendukung Ali terpecah menjadi dua kubu.

Kubu pertama menolak tahkim dan menyatakan Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash, dan semua yang terlibat dalam tahkim telah kafir karena telah meninggalkan hukum Allah. Mereka memahami secara sempit QS. Al-Maidah:44: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka telah kafir”. Semboyan mereka adalah laa hukma illallah, tiada hukum selain hukum Allah. Kubu pertama ini kemudian menjadi Khawarij.

Sedangkan kubu kedua mendukung penuh keputusan Ali, sebab Ali adalah representasi dari Rasulullah SAW, Ali adalah sahabat terdekat sekaligus menantu Rasulullah saw. Keputusan Ali adalah keputusan Rasulullah saw. Kubu kedua ini kemudian menjadi Syiah. Belakangan, golongan ektstrem (rafidhah) dari kelompok ini menyatakan bahwa tiga khalifah sebelum Ali tidak sah. Bahkan golongan Syiah paling ekstrem mengkafirkan seluruh sahabat Nabi Saw kecuali beberapa orang saja yang mendukung Ali. Di sinilah awal mula pertikaian antara Syiah dengan Khawarij yang terus berlangsung hingga kini.

Khalifah Ali kemudian dibunuh oleh Khawarij. Pembunuhnya adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang penganut fanatik Khawarij. Ibnu Muljam ini sosok yang dikenal sebagai penghafal Al-Quran, sering berpuasa, suka bangun malam, dan ahli ibadah. 

Berdasarkan musyawarah ahlul halli wal áqdi yang beranggotakan sahabat-sahabat besar yang masih tersisa waktu itu, menyepakati kedudukan Ali sebagai khalifah digantikan oleh puteranya Al-Hasan. Namun Al-Hasan hanya dua tahun menjabat sebagai khalifah. Ia mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah karena menurut ijtihadnya mengundurkan diri adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan perselisihan umat. Dalam sejarah, tahun pengunduran diri Al-Hasan dinamakan “am al-jama’ah” atau tahun persatuan.

Naiknya Muawiyah menjadi khalifah menimbulkan reaksi keras dari kelompok Syiáh dan Khawarij. Mereka menolak kepemimpinan Muawiyah dan menyatakan perang terhadap Bani Umayah. Perselisihan makin memuncak manakala Muáwiyah mengganti sistem khilafah menjadi monarki absolut, dengan menunjuk anaknya Yazid sebagai khalifah selanjutnya.

Di sisi lain, tragedi Karbala yang menyebabkan terbunuhnya cucu Rasulullah saw Al-Husein dan sebagian besar ahlul bait Rasulullah saw pada masa Khlalifah Yazid bin Muawiyah, telah mengobarkan semangat kaum Syiah untuk memberontak terhadap Bani Umayah. Pertikaian selanjutnya melebar jadi pertikaian segitiga antara Bani Umayah, Syiah, dan Khawarij. Pertikaian terus berlanjut hingga masa Bani Abbasiah. Dua kelompok ini senantiasa merongrong pemerintahan yang sah.

Chaos politik yang melanda umat Islam awal pada akhirnya juga melahirkan kelompok lain di luar Syiah dan Khawarij. Pada awal abad ketiga Hijriah muncul kelompok Murjiáh, yang berpendapat bahwa dalam persoalan tahkim tidak ada pihak yang berdosa. Dosa dan tidaknya serta kafir dan tidaknya seseorang bukanlah diputuskan di dunia, melainkan di akhirat oleh Allah SWT.

Dari persoalan politik kemudian merembet menjadi persoalan akidah. Perdebatan siapa yang bersalah dalam konflik antara Ali dan Muawiyah melebar jadi perdebatan tentang perbuatan manusia. Setelah Murjiáh, muncullah aliran Jabbariah (fatalisme) dan Qodariah (free act and free will). Jabbariah berpendapat, perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, artinya manusia tak lebih laksana wayang yang digerakkan oleh dalang. Qodariah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya tanpa ada “campur tangan” Tuhan terhadapnya.

Setelah Qodariah dan Jabbariah, berikutnya muncul aliran Mu’tazilah yang berpendapat sama dengan Qodariah dalam hal perbuatan manusia, namun mereka menolak penetapan sifat (atribut) pada Allah. Menurut Mu’tazilah, bila Allah memiliki sifat berarti ada dua materi pada Allah, yakni Dzat dan Sifat, hal ini berarti telah syirik atau menduakan Allah.

Lahirnya aliran-aliran ekstrem setelah Syiah dan Khawarij bukan hanya disebabkan oleh persoalan politik yang melanda umat Islam awal, akan tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dari luar Islam. Hal ini merupakan imbas dari semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam yang meliputi wilayah-wilayah bekas kekaisaran Persia dan Romawi yang sudah lebih dahulu memiliki peradaban yang mapan dan telah bersentuhan dengan rasionalisme Yunani dan filsafat ketimuran.

Di awal tulisan ini telah disebutkan, kemunculan istilah Aswaja merupakan respon atas kelompok-kelompok ekstrem pada waktu itu. Aswaja dipelopori oleh para tabi’in (generasi setelah sahabat atau murid-murid sahabat) seperti Imam Hasan Al-Bashri, tabi’t tabiín (generasi setelah tabi’ín atau murid-murid tabi’ín) seperti Imam-imam mazhab empat, Imam Sufyan Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah. Ditambah generasi sahabat, inilah yang disebut dengan periode salaf, sebagaimana disebut oleh Rasulullah saw sebagai tiga generasi terbaik agama ini.

Selepas tabi’ tabiín ajaran Aswaja diteruskan dan dikembangkan oleh murid-murid mereka dan dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya.Mulai dari Imam Abul Hasan Al-Asyári, Imam Abu Manshur Al-Maturidi, Imam Al-Haromain, Imam Al-Junaid Al-Baghdadi, Imam Al-Ghazali dan seterusnya sampai Hadratussyekh Hasyim Asyári.

Manhaj Aswaja

Manhaj aswaja yang pokok adalah tawassuth, ta’adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا

“Dan demikian (pula) kami menjadikan kamu (umat Islam), umat penengah (adil dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah;143)

Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata وَسَطًا dalam firman Allah di atas dengan adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan fatwa karena perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena perbedaan kondisi dan psikologi seseorang adalah adil.Selain ayat di atas, ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya firman Allah:

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا

“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’: 29)

Dalam firman-Nya yang lain,

وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra’: 110)

Sementara dalam hadits dikatakan,

خَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا

“Sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat.”

Mirip dengan hadits di atas adalah riwayat,

وَخَيْرُ اْلأَعْمَالِ أَوْسَطُهَا وَدِيْنُ اللهِ بَيْنَ الْقَاسِىْ وَالْغَالِىْ

“Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada di antara yang beku dan yang mendidih.”

Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut: Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (عدل بين ظلمين) atau kebenaran di antara dua kebatilan (حق بين باطلين), seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme. Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang memercayai Tuhan Yang Esa. Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud. Allah berfirman;

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)

Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya, (a). wasathiyyah antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memerhatikan aspek rohani saja atau jasmani saja, melainkan memerhatikan keduanya. Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya. (b). Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql dan naql. Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid. (c).  Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat,  antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.

Ketiga, realistis (wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis. Islam memunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada pada realitas yang terjadi, melainkan justru memerhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas. Contoh wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah dalam kondisi dharurat atau hajat.

Watak wasathiyyah dalam Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj. Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, watak wasathiyyah tersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:

Melandaskan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber pokok dan juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu pada Al-Qur’an dan As-sunnah seperti ijma’ dan qiyas.

Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad, tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini penisbatannya kepada ashabul madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk bermazhab secara manhaji dalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan bermazhab secara Qauli.

Pola bermazhab dalam NU berlaku dalam semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf, seperti dalam rincian berikut: (a). Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari mazhab empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Malik ibn Anas, mazhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafii dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. (b). Di bidang aqidah mengikuti mazhab Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan mazhab Imam Abu Manshur al-Maturidi. (c). Di bidang akhlaq/tasawuf mengikuti mazhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan mazhab Imam Abu Hamid al-Ghazali.

Berpegang teguh pada petunjuk Al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna.

Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah (realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa. 

Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh mereka kafir.

Tidak menganggap siapa pun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa). 

Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdlatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut.

Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim, ahlul qiblah.

Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjaga ukhuwwah nahdliyyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan seluruh warga NU.

Menjaga keseimbangan antara aspek rohani dan jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir, dan sholawat sebagai sarana taqarrub ilallah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

Beberapa Ajaran Aswaja

1. Pertikaian politik yang terjadi di antara para sahabat Nabi saw merupakan ijtihad para sahabat, bila benar mendapat dua pahala dan bila salah mendapat satu pahala. Aswaja mengambil sikap tawaquf (diam) atas perselisihan yang terjadi di antara para sahabat dan menyatakan keadilan para sahabat (hadisnya bisa diterima).

2. Dalam masalah takfir, Aswaja amat berhati-hati, karena bila sembrono efeknya akan kembali kepada si penuduh. Aswaja tidak akan mudah mengkafirkan siapapun selama masih mengakui tidak ada ada Tuhan selain Allah dan Muhammad saw adalah utusan allah; mengakui hal-hal prinsip dan sudah pasti dalam agama(al-ma’lum mina diini biddhoruroh) seperti rukun Islam, rukun iman, dan perkara-perkara gaib seperti surga, neraka, hisab, shirath, malaikat, jin, peristiwa isra’ dan mi’raj dll. yang informasi mengenai hal-hal tersebut hanya diketahui dari Kitabullah dan Sunnah Nabi saw yang mutawatir.

3. Aswaja juga tidak mudah memvonis sesat sebuah pemikiran atau pendapat seseorang yang berangkat dari dalil yang tidak tegas (ijtihadi) atau masih terbuka ruang perbedaan pendapat di dalamnya. Aswaja amat menghargai perbedaan pendapat karena perbedaan pendapat di kalangan umat adalah rahmat.

4. Mengenai perbuatan manusia, Aswaja berpendapat bahwa perbuatan manusia pada dasarnya diciptakan oleh Tuhan, namun manusia memiliki kuasa (kasb) atas perbuatannya yang bersamaan dengan kehendak Tuhan.

5. Dalam memahami teks Al-Quran dan sunnah, Aswaja berpendapat bahwa ada ruang bagi akal untuk memahami teks. Artinya ada teks yang mengandung makna haqiqi dan ada teks yang mengandung makna majazi yang membuka ruang akal (tafsir) untuk memahaminya.

6. Mengenai perbuatan dosa atau masuk surga dan neraka manusia, Aswaja berpendapat manusia divonis telah berdosa di dunia apabila telah melanggar hukum-hukum syariat sedangkan di akhirat mutlak adalah keputusan Allah.

7. Mengenai sifat Allah, Aswaja berpendapat bahwa Allah memiliki sifat. Dzat (esensi) dan Sifat (atribut) adalah dua hal yang berbeda namun tak dapat dipisahkan, seperti halnya sifat manis yang melekat pada gula. Antara atribut manis dan esensi pada gula keduanya menyatu, namun tak bisa dilepaskan satu sama lain. Sifat senantiasa menyatu dengan Dzat (esensi).

8. Terkait dengan politik dan kekuasaan, Aswaja menyatakan haram hukumnya bughot (memberontak) meskipun pemerintahan itu zhalim,karena hanya akan menimbulkan pertikaian dan pertumpahan darah yang tak berkesudahan di kalangan umat. Namun pemerintahan hasil kudeta adalah pemerintahan yang sah karena terkait dengan kesejahteraan umat dan legalnya beberapa hukum syariat.

9. Aswaja tidak menolak tradisi dan kebudayaan yang sudah lama berkembang dan mendarah daging di tengah masyarakat, asal tidak bertentangan dengan syariat. Namun bila bertentangan dengan syariat, Aswaja menolak perubahan dilakuan secara radikal dan revolusioner. Perubahan harusdilakukan secara bertahap.Atau tidak harus merubahnya, tetapi mewarnai tradisi dan kebudayaan tersebut sehingga cocok dengan ajaran Islam

Orientasi Aswaja yang Sebenarnya

Ajaran Aswaja yang dianut oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia orientasinya tidak lain adalah mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan umat baik bidang agama, sosial, politik, maupun ekonomi. Aswaja bukanlah golongan yang menjadikan kekuasaan politik sebagai tujuan. Artinya, bagi Aswaja kekuasaan bukanlah indikator keberhasilan dakwah islamiah, tetapi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Hal ini berbeda dengan kaum Syiah dan Khawarij yang orientasi utamanya adalah kekuasaan politik.

Dengan prinsip jalan tengahnya, dalam bidang politikAswaja menghendaki tatanan politik yang stabil. Aswaja mengharamkan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah dan mengharamkan sebuah tindakan dan pernyataan yang dapat memicu huru-hara politik dan chaos. Mengapa? Karena instabilitas politik dapat memicu kekacauan sosial yang pada ujungnyahanya akan menyengsarakan rakyat.

Aswaja menyatakan bahwa Islam tidak meninggalkan sistem politik apapun. Mengenai pengaturan negara diserahkan kepada masyarakat yang membentuk negara itu. Islam tidak mempersoalkan sistem demokrasi atau monarki. Islam hanya memerintahkan seorang pemimpin harus adil dan berakhlakul karimah, senantiasa musyawarah, serta berkomitmen untuk menyejahterakan rakyatnya, sebagaimana kaidah fiqh “tashorruful imam ála roíyah manuthun bil mashlahah” kebijakan seorang pemimpin berdasarkan kesejahteraan rakyatnya.

Dalam bidang sosial, Aswaja menginginkan sebuah tatanan masyarakat yang beradab(tamaddun), dalam arti masyarakat yang membangun, saling menghormati, dan toleran, meski berbeda agama, suku bangsa, dan budaya. Inilah tatanan masyarakat ideal sebagaimana telah diwujudkan oleh Nabi Muhammad saw 14 abad yang lalu ketika membangun masyarakat madani (civil society) di Madinah.

Dalam bidang ekonomi, Aswaja menekankan pemerataan ekonomi. Aswaja mengambil jalan tengah antara kapitalisme-liberalisme dan sosialisme-komunisme. Aswaja mengharamkan monopoli atas kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat. Aswaja juga mengharamkan sumber daya alam dan mineral sebuah negara dikuasai oleh pribadi atau segelintir orang. Aswaja menekankan keseimbangan antara hak-hak individu dan hak-hak masyarakat sehingga tercipta keadilan sosial dan ekonomi.

Aswaja dan Nasionalisme

Bagi Aswaja, agama dan nasionalisme tak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang. Agama dan nasionalisme saling mendukung. Nasionalisme tanpa agama akan kering nilai-nilai, sementara agama tanpa nasionalisme tak mampu menyatukan elemen-elemen bangsa. Hadratussyekh Hasyim Asyári jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan menyatakan,cinta tanah air sebagian dari iman. Siapa yang tidak mencintai tanah airnya maka belum sempurna imannya. Inilah prinsip jalan tengah Aswaja dalam menyikapi persoalan kebangsaan. Al-Quran secara jelas mengatakan: “sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling mengenal (berinteraksi)”.

Penutup

dari tulisan diatas kita bisa memahami, bahwa ajaran aswaja merupakan suatu ajaran yang sempurna untuk membangun peradaban yang aman, nyaman serta penuh kedamaian tidak hanya di dunia, namun juga untuk kehidupan di akhirat. 

Ini Dia Perbedaan Wahabi Dan Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah

Ini Dia Perbedaan Wahabi Dan Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah
Ini Dia Perbedaan Wahabi Dan Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah
 
Sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah, kita perlu mengetahui tentang identitas Salafi (Wahabi), mengetahui Perbedaan Wahabi Dan Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah, sehingga tidak terjebak propagandanya atau masuk dalam perangkapnya. 
 
Baca artikel Ini Dia Perbedaan Wahabi Dan Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah ini sampai akhir
Tulisan ini bertujuan agar kaum Aswaja paham tentang akidah Wahabi sehingga tidak terkontaminasi oleh akidahnya. Perbedaan yang sangat samar, sehingga banyak kaum awam dari golongan Aswaja terbawa oleh propaganda Wahabi. Tanpa sadar menjadi Wahabi karena terdoktrin oleh ajarannya baik melalui YouTube, Facebook dan sosial media lainnya.

Siapa Sebenarnya Wahabi?

Wahabi merupakan sebutan bagi pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (w.1793 M), seorang tokoh yang diklaim oleh pengikutnya sebagai pemurni tauhid, lahir di kampung Uyainah, Najd, 70 km arah barat laut kota Riyadh, Arab Saudi sekarang. Tapi akhir-akhir ini bermuculan bantahan dari sebagian orang bahwa penisbatan Wahhabiyah (Wahabi) kepada Muhammad bin Abdul Wahab itu tidak benar.
Demikian disampaikan A. Ma’ruf Asrori dalam bedah buku “Rekam Jejak Radikalisme Salafi Wahabi; Sejarah, Doktrin, dan Akidah” di Masjid Agung Kota Sidoarjo yang deselenggarakan LPPQ Al-Karim Jawa Timur dalam Pengajian Ramadhan bersama LDNU, LTMNU dan LTNNU PCNU Sidoarjo, Ahad (13/7).
Bantahan mereka beralasan bahwa tokoh yang disebut itu bernama Muhammad bin Abdul Wahab, mestinya menjadi ”Muhammadiyah” bukan Wahabi, karena namanya Muhammad, sedang nama Wahab adalah nama ayahnya, Abdul Wahab.
“Kata mereka, Wahabi itu dinisbatkan kepada Abdul Wahhab bin bin Rustum yang memang khawarij. Inilah tipu daya untuk menghindari sorotan buruk dari kaum Muslimin yang telah menyaksikan sejarah kelam Wahabi di masa lampau maupun sekarang ini,” ungkap Ma’ruf Asrori dari Penerbit Khalista Surabaya sambil mengutip isi buku.
Lanjut Ma’ruf, di dalam buku yang sedang dibedah ini telah membeberkan bawa banyak ulama Wahabi sendiri mengakui penisbatan Wahhabiyah (Wahabi) bagi pengikut Muhammad bin Abdul Wahab, bahkan membangga-banggakannya. Istilah Wahhabiyah memang disematkan oleh kaum Muslimin yang menentang dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab.
Laqab atau julukan ini diambil dari nama ayahnya Abdul Wahab, dan nisbat seperti ini sudah masyhur di kalangan Arab. Seperti pengikut Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i disebut Syafi’iyah, laqab yang dinisbatkan dari nama kakeknya, Idris asy-Syafi’i. Pengikut Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal disebut Hanabilah, nisbat kepada nama kakeknya Hanbal dan semisalnya. Maka nisbat Wahhabiyah bukan suatu penyematan atau pengistilahan asing apalagi salah, namun sudah masyhur bagi kalangan orang Arab.
Penulis buku Ust. Achmad Imron R. lebih detil lagi memaparkan bukti-bukti secara panjang lebar sejarah kemunculan sekte Wahabi sebagai tanduk setan dari timur beserta ajaran-ajarannya berdasarkan hadits-hadits sahih dan rujukan buku yang ditulis oleh kaum Wahabi sendiri serta kitab-kitab bantahan atasnya dari ulama ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam menjelaskan hadits shahih tentang fitnah tanduk setan yang akan muncul dari timur, Achnad Imron menguraikan berbagai bukti ilmiah, bahwa Wahabi itulah perwujudannya. Selain itu, ia juga menyertakan komentar ulama mu’tabar dari berbagai ahli disiplin ilmu; ahli tafsir, hadits, fikih, nahwu, dan buldan, serta kesaksian yang ada dalam kitab-kitab sejarah.
Penulis pun menguraikan konsep tauhid Wahabi yang menjadi dasar konflik dengan mayoritas kaum muslimin serta bantahannya. Sebagaimana diketahui, pembagian tauhid versi Wahabi yang diada-adakan menjadi sebab merenggangnya keharmonisan umat Islam, serta memunculkan pemahaman takfir, tasyrik, tabdi’ dan tadhlil kepada mayoritas umat Islam, bahkan kepada ulama besar Ahlussunnah wal Jama’ah

Persamaan Aswaja dan Wahabi

1. Menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai referensi utama. 
2. Mencintai sahabat Rasulullah sehingga hadits-haditsnya bersumber dari sahabat Rasulullah. 
3. Merujuk pada hadits kutubussittah yakni enam kitab hadits karya ulama hadits ternama yakni karya Imam Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah. 

Perbedaan Aswaja dan Wahabi

1. Selain Al-Qur’an dan Hadits, referensi tambahan dari Aswaja adalah Ijma’ dan Qiyas sedangkan Wahabi hanya berkutat pada Al-Qur’an dan Hadits (Sunnah). 
 
2. Aswaja sangat mencintai Ahlul Bait atau keturunan nabi seperti habaib, Syarif dan Sayyid sedangkan Wahabi sangat membencinya.
 
3. Dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits, Aswaja sangat moderat, toleran dan kontekstual-inklusif sedangkan Wahabi bersifat tekstual-eksklusif. Menolak kebenaran diluar kelompoknya. Menurut Wahabi, tidak ada kebenaran diluar kelompoknya. 
 
4. Ajaran Aswaja bersifat lengkap dan komprehensif mulai dari akidah (tauhid), syariah (fikih) hingga akhlak (tasawuf) sedangkan ajaran Wahabi hanya berkutat pada akidah dan bid’ah.
 
5. Aswaja mengakomodasi tasawuf sebagai bagian dari konsep Ihsan atau akhlak sedangkan Wahabi sangat anti dengan tasawuf.
 
6. Aswaja adalah kelompok mayoritas umat Islam sedangkan Wahabi adalah kelompok minoritas sehingga menyempal dari golongan mayoritas umat Islam.
 
7. Konsep tauhid Aswaja mengambil referensi dari Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi sedangkan Wahabi mengadopsi tauhid ala Ibnu Taimiyah yakni trinitas tauhid. 
 
8. Aswaja membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (mahmudah) dan bid’ah sayyi’ah (dhalalah/munkarah) sedangkan Wahabi menganggap seluruh bid’ah adalah sesat. 
 
9. Tentang konsep Allah, Aswaja melakukan ta’wil untuk menyucikan zat-Nya sehingga Allah itu ada tanpa arah dan tanpa tempat sedangkan menurut Wahabi, Allah itu berfisik sehingga Wahabi masuk dalam kelompok mujassimah atau menjisimkan Allah. 
 
10. Aswaja mengakomodasi empat madzhab dalam menentukan hukum sehingga multi referensi sedangkan Wahabi anti madzhab. Walaupun terkadang Wahabi mengambil referensi dari imam madzhab, namun itu hanya sekedar bumbu karena referensi utama hanya berkutat pada beberapa tokoh yakni Muhammad Bin Abdul Wahab (MBAW, pendiri Wahabi), Bin Baz, Albani, Ibnu Taimiyah dan Shalih Fauzan. 
11. Dakwah Aswaja selalu terbuka dan terang-terangan dengan prinsip moderatisme sedangkan dakwah Wahabi bersifat taqiyah (kamuflase). Wahabi mengaku sebagai salafi (pengikut generasi salaf) untuk menutupi kejahatannya dimasa lalu yang sudah dikenal oleh ulama terdahulu sebagai Wahabi. Jadi Wahabi adalah salafi palsu. 

Penutup

Demikianlah beberapa Perbedaan Wahabi Dan Ahlussunnah Wal Jamaah An Nahdliyyah. Mudah-mudahan kita bisa berpegang teguh pada ajaran Aswaja an nahdliyyah yang telah diajarkan oleh ulama salaf terdahulu dan bisa diselamatkan oleh Allah dari fitnah Wahabi.